Tugas Kelompok : I
Mata Kuliah : Masa’il Al-Fiqhiyah
PERKAWINAN ANTARORANG YANG
BERLAINAN AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
Disusun
Oleh :
Ø Umu
Salamah R.M.I
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1434 H / 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memilih pasangan
hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan
agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling
jauh beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan
negara. Dahulu, biasanya orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah
dengan yang beda etnis sudah jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah
dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak pantang menikah dengan orang Bugis.
Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah dengan yang berkulit putih, juga
hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule Amerika menikah dengan
perempuan Batak.
Pernikahan beda
agama pun tak terhindarkan. Globalisasi meniscayakan perjumpaan tak hanya
terjadi antar orang-orang yang satu agama, melainkan juga yang beda agama.
Tunas cinta bisa bersemi di kantor-kantor modern yang dihuni para karyawan
beragam agama. Ruang-ruang publik seperti mall, kafe, dan lain-lain membuat
perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekat primordial agama terus lumer dan
luluh diterjang media sosial seperti facebook dan twitter. Orang tua tak
mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul dengan yang segama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Perkawinan Beda agama menurut hukum di Indonesia?
. 2. Bagaimana Perkawinan
beda Agama Menurut Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum
Indonesia
Akhirnya keluarlah Kompilasi
Hukum Islam (KHI), yang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal
22 Juli 1991 menjadi hukum positif yang bersifat unikatif bagi seluruh umat
Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama
dalam menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan,
kewarisan dan perwakafan.
Berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam pasal 40 ayat (c): “Dilarang perkawinan antara seorang
wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”.
Larangan
perkawinan tersebut oleh Kompilasi Hukum Islam mempunyai alasan yang cukup
kuat, yakni:
Satu : Dari
segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2
ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan "tidak ada
perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu".
Dua : Dari segi
hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
Ø
سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya
sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran
rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
Ø
Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ
مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari
mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home
itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam
Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar
dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
Ø
Pada prinspnya agama Islam melarang (haram)
perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama
Islam (perhatikan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin
seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nashrani/Yahudi)
berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah dispensasi bersyarat,
yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena
perkawinan tersebut mengandung resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai).
Karena itu pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara
seorang yang beragama Islam (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama
Islam (pria/wanita) apapun agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia
berkewajiban mentaati larangan pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
Berangkat
dari ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5.
Selanjutnya Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat yang mungkin terjadi
karena perkawinan dengan wanita non Muslim :
Ø Akan
banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini akan
berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim.
Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim yang belum
kawin.
Ø Suami
mungkin terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula anak-anaknya. Bila
terjadi, maka “fitnah” benar-benar menjadi kenyataan.
Ø Perkawinan
dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami-istri dan
pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan kitabiyah beda tanah
air, bahasa, kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan
kitabiyah Eropa atau Amerika.
Dari segi
agama, lemahnya posisi pria Muslim tersebut sangat berbahaya bila kawin dengan
kitabiyah. Karena itu kawin dengan kitabiyah harus dijauhi. Pada masa Umar bin
Khattab kaum Muslimin sangat kuat. Umar melarang kaum Muslimin kawin dengan
kitabiyah dan para sahabat yang beristri kitabiyah ia suruh untuk
menceraikannya. Jika dalam posisi kaum Muslimin kuat saja, dilarang kawin
dengan kitabiyah, apalagi sesudah kaum Muslimin lemah, seperti pada masa kini,
misalnya di Indonesia.
Ulama Muhammadiyah menyatakan kawin beda agama juga dilarang
dalam agama Nasrani. Dalam
perjanjian alam kitab ulangan 7 : 3, umat Nasrani juga dilarang untuk
menikah dengan yang berbeda agama.
''Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan
bahwa: ''Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.'' Jadi, kriteria sahnya
perkawinan adalah hukum masing-masing agama yang dianut oleh kedua mempelai,''
papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya.
Ulama Muhammadiyah menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan
di kantor catatan sipil tetap tak sah nikahnya secara Islam. Hal itu
dinilai sebagai sebuah perjanjian yang bersifat administratif. Muhammadiyah
memang mengakui adanya perbedaan pendapat tentang bolehnya pria Muslim menikahi
wanita non-Muslim berdasarkan surat al-Maidah ayat 5. ''Namun, hendaknya pula dilihat surat
Ali Imran ayat 113, sehingga dapat direnungkan ahli kitab yang bagaimana yang
dapat dinikahi laki-laki Muslim,'' tutur ulama Muhammadiyah. Dalam banyak hal,
kata ulama Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab dengan pria Muslim banyak
membawa kemudharatan. ''Maka, pernikahan yang demikian juga dilarang.'' Abdullah ibnu Umar RA pun melarang
pria Muslim menikahi wanita non-Muslim.
2. Perkawinan Beda
Agama Menurut Hukum Islam
Didalam Islam, pernikahan antara antara pria muslim dengan
wanita non-muslim Ahli Kitab itu, menurut pendapat sebagian Ulama’
diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada Firman ALLAH SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 :
Namun
ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan melaksanakan hal tersebut, yaitu
:
·
Jelas Nasabnya
Menurut silsilah atau menurut garis
keturunannya sejak nenek moyangnya adalah Ahli Kitab, jadi seperti kesimpulan
para Ulama’ di atas, sebagian besar kaum Nasrani di Indonesia bukan merupakan
golongan Ahli Kitab, seperti halnya juga kaum Tionghoa yang beragama Nasrani di
Indonesia.
·
Benar-benar
Berpegang Teguh Pada Kitab Taurat dan Kitab Injil
Apabila memang apabila mereka berpegang teguh
kepada Kitab Taurat dan atau Injil (yang benar-benar asli) pasti mereka pada
akhirnya akan masuk Islam, karena sebenarnya pada Kitab Taurat dan Injil yang
asli telah disebutkan bahwa akan datang seorang Nabi setelah Nabi Musa As dan
Nabi Isa As, yaitu Nabiullah Muhammad SAW. Dan apabila mereka mengimani akan
adanya Nabiullah Muhammad SAW, pasti mereka akan masuk Islam
·
Wanita Ahli
Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anak-anaknya kelak dari bahaya fitnah
Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, Sahabat Thalhah, Sahabat Hudzaifah, Sahabat Salman, Sahabat
Jabir dan beberapa Sahabat lainnya, semua memperbolehkan pria muslim menikahi
wanita Ahli Kitab. Sahabat Umar bin Khattab pernah berkata
“Pria
Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab dan tidak diperbolehkan
pria Ahli Kitab menikah dengan wanita muslimah”.
Bahkan Sahabat Hudzaifah dan Sahabat Thalhah pernah
menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi akhirnya wanita tersebut masuk Islam.
Dengan demikian, keputusan untuk memperbolehkan menikah dengan wanita Ahli
Kitab sudah merupakan Ijma’ (artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama
dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
dalam suatu perkara yang terjadi.) para Sahabat. Ulama’ besar Ibnu Al-Mundzir
mengatakan bahwa jika ada Ulama’ Salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut
diatas, maka riwayat tersebut dinilai tidak Shahih
Lebih lanjut MUI mengeluarkan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Nomor:
4/MUNAS VII/MUI/8/2005 per-tanggal 9-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29
Juli 2005 M tentang
haramnya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan. Meskipun fatwa itu diusung dengan merujuk pada
beberapa dalil naqli, tetap saja menghapus kebolehan pria muslim menikah dengan
wanita Ahli Kitab sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 5 tersebut diatas. Dan rupanya fatwa itu
dikeluarkan karena didorong oleh keinsafan akan adanya persaingan antara agama.
Para Ulama’ menganggap bahwa persaingan tersebut telah mencapai titik rawan
bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat muslim dan merupakan tindakan
pencegahan untuk melindungi muslim dan keturunannya
Dalam hal ini fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa tiada
sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan kebebasan
beragama, dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperta agama
Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 120 :
“Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang
kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka”.
Dan Allah berfirman
surat An Nisa ayat 141 :
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.
Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya
selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir
termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat
Islam dengan berbagai cara, dan hendaklah umat Islam tidak memberi
jalan/kesempatan pada meraka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan
perkawinan muslimah dengan pria non Muslim.
Namun ada pula Ulama’ yang secara tegas mengharamkan
pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab. Para Ulama’ ini
mendasarkan pendapatnya pada Firman ALLAH Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 221
“Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang muslim itu lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman . sesungguhnya budak mukmin itu lebih baik
daripada musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan ALLAH mengajak ke surga dan ampunan dengan ijinNYA. Dan ALLAH
menerangkan ayat-ayatNYA (perintah-perintahNYA) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”
Dan juga Al-Quran Surat Al-Mumtahanah ayat 10 :
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. ALLAH mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami) mereka
orang-orang kafir. Mereka tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami-suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang
telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum ALLAH yang ditetapkanNYA diantara
kamu, dan ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Disamping itu, mereka juga berpegangan kepada perkataan
Sahabat Abdullah bin Umar yang berarti
“tiada kemusyrikan yang paling besar daripada
wanita yang meyakini Isa bin Maryam sebagai tuhannya”.
Dalam Kitab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu
Qudamah, Ibnu Abbas pernah menyatakan, hukum pernikahan dalam QS. Al-Baqarah
ayat 221 dan QS. Al-Mumtahanah ayat 10 diatas telah dihapus (mansukh) oleh QS.
Al-Maidah ayat 5. Karenanya yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan
pria muslim dengan wanita Ahli Kitab
Sedangkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita
musyrikah, menurut kesepakatan para Ulama’ tetap diharamkan, apapun alasannya, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.
Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim,
menurut kalangan Ulama’ tetap diharamkan, baik menikah dengan pria Ahli Kitab
maupun dengan seorang pria musyrik.
Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim tidak
dapat menahan godaan yang akan datang kepadanya. Seperti halnya wanita tersebut
tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangang dengan
syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari
lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan
Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang
wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5,
yang menyatakan bahwa ALLAH SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria
muslim dengan wanita Ahli Kitab, tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini
diperbolehkan, maka ALLAH SWT pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran.
Karenanya , berdasarkan mahfum al-mukhalafah, secara implisit ALLAH SWT
melarang pernikahan tersebut.
Dalam Kitab tafsir Al-Tabati karya Imam Ibnu Jarir
At-Tabari, menuturkan Hadits Riwayat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda
“Kami
(kaum muslim) menikahi wanita Ahli Kitab, tetapi mereka (pria Ahli Kitab) tidak
boleh menikahi wanita kami”
Menurut Imam Ibnu Jarir At-Tabari, meskipun sanad-sanad
Hadits tersebut sedikit bermasalah, maknanya telah disepakati oleh kaum
muslimin, maka ke-hujjah-annya dapat dipertanggungjawabkan.
BAB III
PENUTUP
( Kesimpulan )
Sebenarnya pernikahan
antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam Islam, tetapi karena saat ini sangat sulit
sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka saya dapat
simpulkan bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan
sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh
kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang
ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan pernikahan wanita muslimah
yang menikah dengan pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab
tetap dihukumi haram
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi
adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas
Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer
ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut
Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1. meminta penetapan pengadilan,
2. perkawinan dilakukan menurut
masing-masing agama,
3. penundukan sementara pada salah satu
hukum agama, dan
4. menikah di luar negeri.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda
“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya;
karena keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya.
Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan
beruntung”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Maka bagi kaum muslimin dan muslimah, alasan pernikahan
beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak, kebersamaan, toleransi atau
apapun alasannya TIDAK DAPAT DIBENARKAN.
Perlu pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria muslim
dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh
dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya pernikahan yang
paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia maupun akhirat serta
membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah
adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar